Orang mengatakan rakyat kita sudah cerdas, tidak mungkin bisa dibohongi. Itu ungkapan yang
berlebihan. Buktinya, rakyat sering gagal memilih pemimpin yang baik. Baik
artinya punya kapasitas dan integritas. Kapasitas diukur dari perbaikan (adanya
perubahan terukur ke arah yang lebih baik) yang sudah dibuat oleh seorang
pemimpin buat rakyatnya. Dan integritas artinya komitmen hukum, moral dan
loyalitas terhadap kebenaran selama memimpin.
Masih banyaknya pemimpin
daerah ini yang berurusan dengan penegak hukum, , adalah bukti kegagalan rakyat
memilih pemimpin. Fakta tersebut membuktikan bahwa rakyat masih mudah dijadikan
korban pencitraan.
Oleh karena itu, masyarakat
perlu cerdas memahami segala gerak-gerik politisi di media sosial agar tidak
terjebak kebohongan-kebohongan yang kemudian berimbas kepada timbulnya ketidak
percayaan publik terhadap politisi yang nyata kerjanya dan kelihatan hasilnya
bagi kehidupan masyarakat itu sendiri.
Hal utama yang wajib
diketahui masyarakat terlebih dahulu adalah ketika seseorang terjun di dunia
politik, integritas dan kapabilitas tidak cukup. Dia perlu melakukan segala
macam cara agar mampu menarik hati masyarakat. Dalam prosesnya, tidak semua
orang mampu mengenalkan dirinya kepada publik dengan kesan yang menarik. Di
situlah pencitraan merupakan kebutuhan berpolitik yang tidak bisa dihindari.
Kebutuhan, pencitraan akan
hadir dalam bentuk apa saja di ruang publik. Dalam situasi tersebut, pertanyaan
refleksi bagi kita adalah mau menjadi korban pencitraan atau melawan balik agar
kita benar-benar menuai pemimpin dengan kualitas cukup baik.
Cara melawan balik teramat
sederhana yang paling mungkin bisa kita lakukan adalah memahami arti pencitraan
itu sendiri. Sebenarnya, pencitraan lebih berkaitan dengan kegiatan yang
dilakukan untuk membentuk citra seseorang sesuai keinginan atau harapan publik
guna mendapatkan simpati. Kadang usaha ini juga untuk menutupi sesuatu yang
buruk pada pemimpinnya .
Pencitraan adalah
’’pembungkusan diri’’ dengan gambaran yang disukai oleh publik, walaupun
nilainya hanya iforia sesaat”. Oleh karena itu, pencitraan sering dikonotasikan
sebagai sebuah upaya sesaat yang tidak berkesinambungan dan tidak akan pernah
ada follow up-nya .
Contohnya, bila keinginan
publik adalah melihat sosok yang baik, santun, mengutamakan kepentingan orang
banyak, semua kegiatan orang yang dicitrakan itu dirancang dan dijalankan
secara seksama, menggunakan beragam medium komunikasi agar cocok dengan citra
tersebut. Tiba-tiba mengunjungi pasar, tiba-tiba memberikan bantuan di rumah
yatim dan Gereja, memotret diri sedang memberikan sedekah dan berbagai macam
hal lain yang tidak lazim dia lakukan sebelumnya. Biasanya kegiatan pencitraan
itu hanya berlangsung sesaat. Sebab, tujuannya untuk memang mengubah persepsi
orang untuknya.
metode pencitraan seperti ini,
rakyat kita sudah bisa membedakan mana
yang masuk kategori pencitraan dan mana yang bukan karena terlalu sering
dipertontonkan di ruang publik kita selama ini. mencoba kita lebih jeli melihat
figur dan rekam jejak calon pemimpin kita pada masa yang akan datang, terutama
menjelang pilkada serentak 2020.
Perlu adanya pendidikan
literasi digital yang akan sangat membantu masyarakat tidak menelan mentah
segala informasi di ruang publik media sosial kita. Itu penting, mengingat
pencitraan sering dibungkus dalam berbagai macam kemasan. Variasi kemasan
tersebut membuat masyarakat tanpa sadar sedang dipaksakan menerimanya tanpa
bisa memilih.
Literasi digital cukup
membantu masyarakat dalam menjembatani pertemuannya dengan sosok calon pemimpin
mereka di ruang nyata. tindakan di
ruang interaksi kita di media sosial. Pencitraan terserbut baik, tetapi harus
tetap seimbang antara apa yang terjadi di dunia nyata dengan apa yang
dicitrakan di dunia maya.
0 Comments